Senin, 15 Desember 2008

Montadhar Zaidi, Pelempar Bush, Jadi Pahlawan Irak


zaid-said-god-bye-dog

Wartawan telivisi Baghdadiyah yang mengganti ungkapan kebencian dan kekecewaan terhadap Bush dengan ungkapan nyata, yaitu melemparkan sepasang sepatunya dalam konferensi pers di bagdad, menjadi hero.

Hari ini ribuan orang melakukan demonstrasi di najaf, bagdad dan Karbala, mendukung aksi Montazhar Zaidi.

Namanya tiba-tiba melambung. Aljazeera melakukan wawancara secara acak di Irak dan mendapatkan hasil yang mengungkapkan dukungan terhadap aksi wartawan itu.

Sejumlah toko penjual buah dan kue membagi-bagikan secara sukarela dagangannya kepada para pejalan kaki dan pengendara mobil sebagai ungkapan kegembiraan. Montazhar yang beraliran Syiah telah menjadi ikon persatuan rakyat Irak yang menolak penjajahan Amerika sekaligus pukulan bagi kelompok-kelompok salafi ektrem pengecut yang menghalalkan ribuan nyawa warga sipil sesama Muslim di pasar dan jalan umum.

Wartawan yang diduga kuat sebagai pendukung Moqtada Sadr itu ditahan oleh gabungan tentara Amerika dan Irak. Dalam wawancara dengan aljazeera, adik Montazhar mengatakan bahwa nasibnya hingga kini belum diketahui pasti.

Terdorong oleh solidaritas dan simpati, sejumlah pengacara menawarkan diri untuk melakukan pembelaan secara sukarela.

Jumat, 28 November 2008

Teroris “Mujahidin Selatan” Sandera 15 Warga Israel


tajmahal-hotel

Meski belum jelas siapa pelaku dan motivnya, pemerintah AS, Israel dan Eropa menganggap penyerangan yang terjadi di enam tempat secara bersamaan di ibukota perdagangan India, Mumbai, itu sebagai aksi yang dilakukan oleh kelompok Islam ektrem pro Kashmir atau Alqaeda.

“Mintalah pada Pemerintah untuk melakukan pembicaraan dengan kami dan kami akan melepaskana para sandera,” ujar seorang laki-laki yang disebut bernama Imran dalam bahasa urdu dengan aksen Kashmir.

Serangan teroris di Mumbai, India, telah menewaskan 101 orang. Sebanyak 6 orang di antaranya merupakan warga asing. Kini para teroris masih menyandera lusinan orang. Beberapa di antara para sandera disebut-sebut merupakan warga Israel.

Serangan teroris meliputi hotel-hotel berbintang lima, restoran besar, stasiun KA, dan markas grup Yahudi di Mumbai, pusat ibukota finansial India. Sejumlah orang disandera di Hotel Trident (dulu Oberoi) dan Hotel Taj Mahal.

Kantor berita AP dan situs Israel ynetnews.com, Kamis (27/11) juga melaporkan markas grup Yahudi Chabad Lubavitch yang berbasis di New York, AS, dikepung teroris. Rentetan tembakan terdengar dari dalam bangunan.

Rabi Gavriel Holtzber yang merupakan utusan Chabad Lubavitch di India diduga disandera bersama sejumlah orang lainnya. Konsulat Israel di India sempat mengontak Holtzber, namun terputus di tengah percakapan.

Perwakilan Kementerian Luar Negeri Israel Lior Chayat menyatakan terus memantau perkembangan situasi di Mumbai. Pihaknya telah menerima 300 panggilan telepon warga Israel yang menanyakan nasib keluarganya di Mumbai. Sementara konsulat Israel di Mumbai telah dijaga ketat.

Selain warga Israel, warga asing yang turut disandera antara lain dari Australia dan Singapura. Para teroris yang mengklaim dari Mujahidin India disebut-sebut juga mencari-cari warga Amerika dan Inggris.

Boleh jadi, aksi blokade Gaza yang berlangsung lebih dari enam bulan oleh rezim Israel dan aksi penjajahan AS di Irak, Afghanistan dan Pakistan sebagai pemicunya.

Kamis, 23 Oktober 2008

Aktris Cantik Mesir Tobat


Saturday, 09 February 2008
Sample ImageSample ImageHanan Turk, aktris cantik dari Mesir, bertobat dan menyatakan ia malu jika mengingat-ingat masa lalunya. Dalam wawancaranya dengan Televisi Al Arabia, Hanan Turk mengatakan bahwa dalam karya seninya ia tidak memperhatikan keridhoan Allah dan rasul-Nya. Ia tidak ingin menggunakan uang honor main filemnya sebelum ia masuk Islam karena dianggapnya haram. "Saya berharap Allah mengampuni seluruh dosa-dosa saya karena saya melakukannya karena ketidaktahuan saya terhadap masalah-masalah keagamaan. Meski demikian saya mengaku bahwa pernyataan ini bukan alasan yang tepat karena saya tidak pernah berusaha untuk mengenal dan mendalami agama Islam. Saya sangat bersyukur karena Allah telah menunjukkan jalan kepada saya. Saya juga ingin mengatakan satu hal lagi bahwa seni akting pada hakikatnya tidak haram asalkan tidak keluar dari batas-batas yang telah ditentukan Allah swt", ujar Hanan.

Pemilik salon kecantikan Sabaya yang menekankan pentingnya penggunaan jilbab itu mengatakan, "Saya punya program untuk kaum perempun berjilbab sebab itu, perempuan non-muslim atau yang tidak berjilbab tidak diperkenankan masuk ke salon saya".

Beberapa waktu lalu, Hanan bercerai dengan suaminya. Sang suami ternyata tidak dapat menerima Hanan mengenakan jilbab dan bahkan sempat mendesaknya untuk melepas jilbab. Mengenai hal ini Hannan menjelaskan, "La taaata li makhluqin fi ma'siatil khaliq" (Tidak ada keataan kepada makhluk dalam bermaksiat kepada Sang Pencipta). Sampai saat ini, Hanan tetap berkiprah dalam profesinya sebagai aktris hanya saja dengan penampilan yang berbeda.

Selasa, 21 Oktober 2008

Tentang Niat Mempelajari Ilmu, Kebajikan dan Keburukan, dan Tanda Kesempurnaan Iman

1. “Siapa yang mempelajari ilmu untuk pamer, kebanggaan dan dunia, Allah akan menghilangkan keberkahannya dan menyempitkan hidupnya, dan Allah akan membiarkannya sendiri.” (Nahj al-Balaghah) (11-2-2008; 12:00:50)

2. Nabi saw: “Tiada yang lebih baik dari kebajikan: beriman kepada Allah dan bermanfaat bagi manusia. Tiada yang lebih buruk dari kejahatan: syirik pada Allah dan merugikan manusia. (Al-Bihar 77) (21-3-2007; 07:30:03)

3. “Tiga tanda kesempurnaan iman: kalau marah, marahnya tidak keluar dari kebenaran; kalau senangnya, senangnya tidak membawanya pada kebatilan; ketika mampu membalas, ia memaafkan.” (Tuhaf al-’Uqul) (26-3-2007; 07:30:12)

Agama dan Kosmologi


Kosmologi yang benar adalah fondasi yang harus dibangun oleh setiap insan beragama. Dengan metode epistemologis apakah kosmologi ini bisa dibangun? Mungkinkah pengetahuan empiris dapat memecahkan masalah-masalah prinsipal kosmologis? Dimanakah posisi tasawuf dalam perfeksi dan perjalanan spiritual manusia?

Artikel ini akan menjawabnya dengan penjelasan yang lugas dan sesederhana mungkin.

Definisi Agama

Berbicara soal agama, tidak bisa tidak kita harus memahami terlebih dahulu definisi agama. Dalam bahasa Arab agama disebut Din yang secara bahasa berarti ‘ketataan’, ‘pahala’, dan sebagainya. Dalam istilah, Din berarti ‘keyakinan kepada Sang Pencipta manusia dan alam semesta serta ajaran-ajaran amaliah yang sesuai dengan keyakinan ini’. Atas dasar ini, orang yang tidak meyakini adanya Sang Pencipta dan menganggap segala fenomena alam ini sebagai kejadian spontan atau semata-mata terjadi karena interaksi alam natural disebut sebagai orang yang tidak beragama (ateis). Sebaliknya, orang yang meyakini adanya Sang Pencipta semesta alam disebut sebagai orang yang beragama, sekalipun keyakinannya atau ritus-ritus agamanya mengalami penyimpangan dan khurafat. Maka dari itu, agama terbagi menjadi hak dan batil.

Agama yang hak adalah agama yang mengandung keyakinan yang sesuai dengan kenyataan serta membawa petunjuk kepada perilaku-perilaku yang memiliki jaminan yang valid untuk menggapai kebenaran.

Ushul dan Furu’

Dengan pengertian terminologis agama tadi, jelaslah bahwa agama setidaknya terdiri dari dua elemen. Pertama, akidah atau keyakinan-keyakinan yang dilandasi dengan prinsip dan dasar yang valid. Kedua, hukum atau perintah-perintah amaliah yang sesuai dengan dasar-dasar akidah. Dengan demikian, tepatlah kiranya jika elemen akidah setiap agama disebut ushul (‘pokok-pokok’) sedangkan elemen hukum amaliahnya disebut furu’ (‘cabang’). Dua istilah ini oleh para ulama Islam juga lazim disebut akidah Islam dan hukum Islam.

Kosmologi dan Ideologi

Makna Istilah kosmologi dan ideologi tidak jauh berbeda satu dengan yang lain. Makna kosmologi antara lain ialah serangkaian keyakinan dan pandangan universal yang tersistematis mengenai manusia dan alam semesta, atau secara umum mengenai ‘ke-ada-an’ (wujud). Sedangkan makna ideologi antara lain ialah serangkaian pandangan universal yang tersistematis mengenai perilaku manusia.

Sesuai dua pengertian di atas, bisa dikatakan bahwa rangkaian akidah dan ushul setiap agama adalah kosmologi agama itu sendiri, sementara sistem universal hukum-hukum amaliahnya adalah ideologinya, dan keduanya diterapkan sesuai dengan ushul dan furu’ agama ini. Patut diingat bahwa istilah ideologi tidak mencakup hukum-hukum parsial sebagaimana kosmologi juga tidak mencakup keyakinan-keyakinan parsial. Selain itu, kata ideologi juga sering diterapkan pada pengertian umum yang mencakup kosmologi.

Kosmologi Teisme dan Kosmologi Materialisme

Di tengah umat manusia, terdapat aneka ragam kosmologi. Toh demikian, dengan pertimbangan diterima atau tidaknya alam immateri atau supranatural, semuanya bisa dibagi dalam dikotomi kosmologi ketuhanan (teisme) dan kosmologi materialisme. Penganut kosmologi materialisme dulu disebut zindiq atau mulhid (ateis) sedangkan sekarang lazim disebut materialis. Ada banyak paham yang membidani lahirnya materialisme, dan di antaranya yang paling termashur ialah Materialisme Dialektik yang menjadi elemen filosofis ajaran Marxisme.

Dari keterangan di atas, jelas bahwa penerapan istilah kosmologi lebih luas daripada istilah keyakinan atau akidah agama, karena kosmologi juga meliputi paham-paham ateisme dan materialisme sementara akidah agama tidak mencakupnya. Ini serupa dengan istilah ideologi yang sebenarnya hanya mencakup rangkaian hukum-hukum agama.

Agama Samawi dan Ushul-nya

Tentang proses munculnya berbagai agama, para ahli sejarah dan sosiolog agama berbeda pendapat. Namun, berdasarkan apa yang bisa dipahami dari teks-teks keislaman (nash), agama muncul sejak manusia itu ada. Manusia pertama adalah Adam as yang merupakan nabi penyeru Tauhid (monoteisme), sedangkan keberadaan agama-agama yang mengandung paham-paham syirik (politeisme) tak lain adalah akibat penyelewengan, distorsi, dan tendensi-tendensi individual maupun kelompok.

Agama-agama monoteisme yang merupakan agama samawi dan hakiki memiliki tiga prinsip universal yang kolektif: [1] keyakinan kepada Tuhan Yang Esa; [2] keyakinan kepada kehidupan yang abadi untuk setiap manusia di alam akhirat serta ganjaran dan pahala untuk setiap perbuatannya ketika hidup di alam dunia; [3] keyakinan kepada pengutusan para nabi oleh Allah Swt untuk menuntun umat manusia kepada kesempurnaan dan kebahagiaan dunia dan akhirat.

Tiga prinsip ini pada hakikatnya adalah jawaban untuk beberapa pertanyaan fundamental bagi setiap orang yang arif dan bijak yaitu, apa dan siapakah kausa prima atau sumber pertama wujud alam semesta ini? Apakah akhir dari kehidupan ini? Dan apakah yang bisa dijadikan sebagai jalur terbaik untuk menjalani program hidup? Adapun kandungan program yang dapat dipelajari dari jalur wahyu yang terjamin kebenarannya tak lain ialah ideologi religius yang terbangun berlandaskan kosmologi teisme.

Keyakinan-keyakinan prinsipal memiliki berbagai konsekuensi, korelasi, akses, dan rincian-rincian yang keseluruhannya membentuk konstelasi keyakinan religius. Perselisihan dalam hal-hal inilah yang menumbuh-kembangkan berbagai aliran keagamaan, mazhab, dan sekte. Perselisihan mengenai status kenabian sebagian nabi serta penentuan kitab suci yang valid, misalnya, telah memicu perselisihan antara agama-agama Yahudi, Kristen, dan Islam. Perselisihan ini kemudian membawa akses berupa perselisihan-perselihan lain dalam keyakinan dan tradisi yang sebagian di antaranya tidak sejalan dengan keyakinan-keyakinan prinsipal. Contohnya adalah keyakinan trinitas dalam agama Kristen yang jelas-jelas berseberangan dengan paham monoteisme, walaupun umat Kristiani tetap berusaha mengemas keyakinan trinitas ini dengan penjelasan-penjelasannya sendiri. Islam pun, umat Nabi Besar Muhammad saw, juga terpecah menjadi Ahlusunnah dan Syiah akibat perselisihan mengenai mekanisme penentuan para pengganti Rasulullah saw. Syiah meyakini bahwa yang berhak menentukannya hanyalah Allah Swt, sementara Ahlusunnah meyakini bahwa yang menentukannya adalah umat Islam sendiri.

Alhasil, Tauhid, kenabian, dan hari kebangkitan adalah keyakinan yang paling fundamental dan prinsipal dalam semua ajaran agama samawi.

Masalah Masalah Prinsipal Kosmologis

Ketika manusia berniat memecahkan berbagai persoalan fundamental kosmologis dan mengenal ushuluddin yang benar, pertanyaan yang pertama kali mencuat ialah apakah jalan pemecahan masalah-masalah ini? Bagaimanakah pengetahuan-pengetahuan yang fundamental bisa diserap dengan benar? Di tengah berbagai metode yang ada, metode manakah yang valid untuk memperoleh pengatahuan-pengetahuan ini?

Semua pertanyaan ini dibahas secara rinci dalam epistemologi, yaitu satu disiplin ilmu yang menganalisis dan mengevaluasi berbagai pengetahuan dan metode penalaran manusia dalam memperoleh pengetahuan. Kita di sini akan membicarakan masalah ini sekedarnya.

Berbagai Jenis Pengetahuan

Dari satu aspek tertentu, pengetahuan-pengetahuan manusia bisa diklasifikasikan ke dalam empat kategori:

Pertama, pengetahuan empiris. Pengetahuan ini diperoleh manusia dengan mengandalkan organ-organ inderawi, kendati akal juga berperan dalam eksepsi dan generalisasi pengetahuan-pengetahuan empiris. Pengetahuan empiris difungsikan dalam ilmu-ilmu empiris, semisal kimia, fisika, dan biologi.

Kedua, pengetahuan rasional. Pengetahuan ini dibentuk oleh konsepsi-konsepsi yang diserap oleh akal pikiran. Dalam pengetahuan ini, peranan akal sangat fundamental kendati adakalanya persepsi-persepsi empiris masih digunakan sebagai sumber serapan konsepsi atau digunakan sebagai bagian dari premis dalam silogisme. Ruang gerak pengetahuan ini meliputi ilmu logika, ilmu filsafat, dan ilmu matematika.

Ketiga, pengetahuan yang diterima begitu saja (ta’abbudi). Pengetahuan ini memiliki aspek sekunder dengan pengertian bahwa ilmu ini didapat berdasarkan pengetahuan-pengetahuan sebelumnya yang sudah dibuktikan sebagai sumber yang valid dan punya otoritas. Dengan kata lain, pengetahuan ini diperoleh dari berita yang disampaikan oleh pembawa kabar yang terbukti bisa dipercaya. Contoh konkretnya adalah pengetahuan yang diperoleh para penganut agama dari pemuka agamanya. Pengetahuan ini adakalanya membentuk keyakinan yang jauh lebih kuat daripada keyakinan-keyakinan yang diperolehnya dari pengalaman-pengalaman empiris.

Keempat, pengetahuan intuitif (syuhudi). Tak seperti tiga kategori pengetahuan di atas, pengetahuan ini bersentuhan langsung dengan objeknya tanpa perantara gambaran subjektif. Karena itu, ilmu atau pengetahuan ini tidak mungkin salah. Namun demikian, apa yang biasanya diklaim sebagai ilmu syuhudi atau irfani pada hakikatnya adalah interpretasi subjektif dari sesuatu yang telah disaksikan. Interpretasi inilah yang bisa salah.

Berbagai Jenis Kosmologi

Berdasarkan klasifikasi di atas, kosmologi bisa dibagi ke dalam empat bagian sebagai berikut:

Pertama, kosmologi ilmiah. Maksudnya ialah manusia membangun kosmologi universalnya mengenai alam semesta berdasarkan hasil-hasil ilmu pengetahuan empiris.

Kedua, kosmologi filosofis yang dicapai melalui proses argumentasi-argumentasi rasional.

Ketiga, kosmologi yang diperoleh melalui keimanan kepada para pemimpin agama sehingga semua kata-kata mereka diyakini sebagai kebenaran.

Keempat, kosmologi irfani yang diperoleh melalui jalur intuisi atau mukasyafah, syuhud, dan isyraq.

Pertanyaannya sekarang ialah apakah semua masalah fundamental kosmologis bisa dipecahkan secara seimbang melalui semua bagian kosmologi di atas? Ataukah ada satu di antaranya yang harus diprioritaskan di atas yang lain?

Evaluasi dan Tinjauan Kritis

Seperti diketahui, ruang gerak pengetahuan empiris hanya terbatas pada fenomena-fenomena alam materi. Maka dari itu, hasil-hasil ilmu empiris tidak bisa mengenal fondasi-fondasi kosmologi dan menyelesaikan masalah-masalah kosmologis yang letaknya berada di luar peta ilmu pengetahuan empiris. Ilmu empiris tidak bisa menetapkan atau menafikannya. Hasil-hasil riset di laboratorium, misalnya, tidak akan bisa mengkonfirmasikan atau menolak keberadaan Tuhan. Ini tak lain karena pengalaman empiris sama sekali tidak akan bisa menjangkau alam immateri, dan oleh sebab itu pengalaman ini jelas tidak akan bisa menetapkan atau menafikan sesuatu yang berada di luar zona alam materi.

Dengan demikian, kosmologi empiris lebih menyerupai fatamorgana. Karenanya, kata-kata kosmologi dalam pengertian yang sebenarnya tidak bisa diterapkan pada pandangan-pandangan universal empiris. Kita hanya bisa menyebutnya sebagai “ilmu pengetahuan alam materi”. Jadi, ilmu ini tidak akan bisa menjawab berbagai persoalan prinsipal menyangkut kosmologi.

Pengetahuan-pengetahuan ta’abbudi juga demikian. Sebagaimana yang dijelaskan tadi, pengetahuan ta’abbudi bersifat sekunder dalam pengertian bahwa pengetahuan ini bisa diyakini setelah sumbernya terlebih dahulu bisa dibuktikan valid. Jadi, sebelumnya harus bisa dibuktikan kenabian seseorang yang menjadi narasumber pengetahuan itu. Sebelum ini pun, harus pula dibuktikan keberadaan Tuhan, Zat yang mengutus nabi untuk membawa kabar (baca: pengetahuan). Dan keberadaan Pengutus nabi serta kenabian orang yang diutus-Nya jelas tidak bisa dibuktikan dengan pesan (baca: pengetahuan) yang dibawa oleh nabi. Misalnya, keberadaan Tuhan tidak bisa kita buktikan dengan pernyataan Al-Quran, “Tuhan itu ada.” Dengan demikian, metode ta’abbudi juga tidak bisa menyelesaikan masalah-masalah prinsipal kosmologis.

Adapun berkenaan dengan motode irfani, syuhudi, intiusi, atau yang juga disebut mistis kita perlu memberikan penjelasan secara agak detail melalui beberapa poin sebagai berikut:

Pertama, kosmologi adalah pengetahuan yang terdiri dari konsepsi-konsepsi subjektif (mafahim dzihniah), sementara dalam intuisi sama sekali tidak ada mafahim dzihniah.

Kedua, untuk menjelaskan dan menginterpretasi apa yang diketahui seseorang dengan jalan intuisi sangatlah memerlukan kepiawaian yang besar dalam berpikir, dan ini tidak akan bisa dicapai kecuali dengan latar belakang jerih payah berpikir dan analisis-analisis filosofis yang panjang. Jika tidak, maka seseorang yang mengalami intuisi akan terjebak pada penggunaan kata-kata yang ambigu sehingga bisa menjadi penyebab timbulnya kesesatan dan penyelewengan.

Ketiga, dalam banyak kasus, hakikat yang diketahui seseorang melalui intuisi bisa mengundang kebingungan bagi orang ini sendiri manakala dia mencoba memberikan refleksi dan interpretasi subjektif.

Keempat, diketahuinya hakikat-hakikat, yang setelah diinterpretasikan oleh pikiran bisa kita sebut kosmologi, bergantung kepada proses penempuhan jalan suluk, sedangkan penerimaan metode suluk ini sendiri juga memerlukan teori-teori dasar dan masalah-masalah prinsipal dalam kosmologi. Jadi, masalah-masalah ini harus terpecahkan terlebih dahulu sebelum dimulainya perjalanan suluk, sedangkan pengetahuan-pengetahuan intiusi berada pada tahap yang paling akhir. Suluk, irfan, atau yang disebut tasawuf hanya akan bisa dialami oleh seseorang jika dia benar-benar ikhlas berusaha menempuh jalan Allah Swt, dan usaha ini hanya bisa ditempuh oleh yang orang yang memiliki pengetahuan sebelumnya tentang Allah dan jalan pengabdian kepada-Nya.

Kesimpulan

Setelah semua metode di atas terbukti tidak bisa difungsikan dalam penyelesaian masalah-masalah prinsipal kosmologis, maka tinggallah satu jalan yang bisa dijadikan alternatif, dan itu ialah jalan penalaran rasional. Dengan begitu, maka kosmologi yang valid dan realistis ialah kosmologi filosofis.

Sungguh pun demikian, ini bukan berarti bahwa untuk menemukan kosmologi yang benar, semua persoalan filosofis harus bisa dipecahkan. Sebaliknya, pemecahan beberapa persoalan filosofis yang sederhana dan mendekati aksiomatis sudah cukup untuk membuktikan keberadaan Tuhan yang merupakan masalah paling fundamental dalam kosmologi. Selain itu, menjadikan metode penalaran rasional (ta’aqqul) sebagai satu-satunya alternatif bukan berarti bahwa metode-metode lain tidak bisa dimanfaatkan untuk menyelesaikan masalah-masalah kosmologis, karena banyak sekali argumentasi-argumentasi rasional yang bisa dikemukakan melalui premis-premis yang didapat dari ilmu-ilmu empiris dan lain sebagainya.
Allah dan Tuhan


ImageEksistensi Tuhan adalah salah satu masalah paling fundamental manusia, karena penerimaan maupun penolakan terhadapnya memberikan konsekuensi yang fundamental pula. Alam luas yang diasumsikan sebagai produk sebuah Kekuatan Yang Maha Sempurna dan Maha Bijaksana dengan tujuan yang sempurna berbeda dengan alam yang diasumsikan sebagai akibat dari kebetulan atau insiden. Manusia yang memandang alam sebagai hasil penciptaan Tuhan Yang Maha Bijaksana adalah manusia yang optimis dan bertujuan. Sedangkan manusia yang memandang alam sebagai akibat dari serangkaian peristiwa acak (chaos) adalah manusia yang pesimis, nihilis, absurd, dan risau akan kemungkinan-kemungkinan yang tak dapat diprediksi.

Umat manusia sejak awal kehadirannya di atas pentas sejarah telah memberikan nama yang berbeda-beda, sesuai dengan bahasa yang digunakan masing-masing, kepada kausa prima alam keberadaan. Orang Persia menyebutnya Yazdan atau Khoda. Orang Inggris menyebutnya Lord atau God. Kita menyebutnya Tuhan atau Sang Hyang. Dialah Tuhan Yang Maha Sempurna. Kepercayaan pada “yang adikodrati,” merupakan bagian integral dari kehidupan manusia, baik terbentuk dalam sebuah lembaga transendental yang disebut “agama” maupun tidak diagamakan. Kendati demikian, konsep dan keyakinan tentang Tuhan telah berkembang dan terpecah dalam beberapa aliran ketuhanan.

Tuhan sejak babak pertama peradaban sampai sekarang telah menjadi objek pengimanan dan penolakan. Manusia, sebelum dibagi dalam kelompok agama, bahkan sebelum dibagi dalam kelompok monoteis dan politeis, telah terbagi dalam dua aliran besar, ateisme dan teisme. Istilah ini berasal dari kata Yunani atheos (tanpa Tuhan), dari a (tidak) dan Theos (Tuhan). Ia adalah aliran yang menolak adanya Tuhan Pencipta alam semesta. Dalam bahasa Arab disebut al-Ilhad.

Kata yang memberikan signifikansi Wujud Pencipta dalam al-Quran sangat banyak. Semuanya dapat dibagi dalam beberapa dimensi dan konteks.

Pertama, kata yang menunjuk Tuhan dipergunakan sebagai nama umum atau atribut universal.

Kedua, kata yang menunjuk Tuhan digunakan dalam dua bentuk sekaligus, universal dan personal.

Ketiga, kata yang menunjuk Tuhan digunakan sebagai nama umum semata.

Keempat, kata yang mengandung arti kesempurnaan dan kebaikan (Asmaul Husna). Kata “Tuhan,” misalnya, yang bila digunakan sebagai nama umum, maka huruf “t” di depannya dikecilkan (tuhan), dan bila digunakan untuk menunjuk nama khusus, maka huruf “t” di depannya dibesarkan (Tuhan). Demikian pula “God” dalam bahasa Inggris atau “Khoda” dalam bahasa Parsi. Karena itu, bila ada yang mengartikan la ilaha illallah dengan “tiada tuhan selain Tuhan” bisa ditolerir.

Kelima, kata yang menunjuk “Tuhan” digunakan sebagai nama personal (alam syakhshi) semata. Dalam bahasa Arab, kata “Allah” sebagai lafzhul jalalah (nama kebesaran) dipergunakan dan ditetapkan sebagai nama personal (alam syakhshi). Sedangkan ar-Rahman ditetapkan sebagai predikat khusus. Selain dari kata Allah (yang merupakan nama khusus) dan kata ar-Rahman (yang merupakan sifat khusus), tidak bersifat khusus.1 Itulah sebabnya, mengapa kata “rabb,” “ilah,” “khalik” digunakan untuk selain Allah, bahkan “ra’uf” dan “rahim” digunakan untuk Nabi saw, “Sesungguhnya telah datang kepadamu seorang rasul dari kaummu sendiri. Berat terasa olehnya penderitaanmu. Sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu. Amat belas kasihan, lagi penyayang terhadap orang-orang Mukmin.” (QS. at-Taubah [9]: 128).

Atas dasar itu, kata “Allah,” baik berupa kata baku (jamid) atau pun kata olahan (musytaq), ditetapkan sebagai sebuah “nama personal,” dan ia tidak mempunyai arti selain Zat Yang Adikodrati Swt. Namun, tatkala Zat Kudus tersebut tidak dapat diinderakan, maka untuk mengenali arti “Allah,” mereka menggunakan sebuah simbol yang berkonotasi secara eksklusif pada Allah seperti “Zat Yang Menghimpun sifat-sifat kesempurnaan,” bukan berarti kata “Allah” ditetapkan untuk mengartikan rangkaian pengertian-pengertian ini. Dengan demikian, jelaslah bahwa pembahasan seputar materi dan bentuk kata ini tidak akan dapat membantu kita untuk memahami artinya sebagai sebuah nama personal (alam syakhshi).

Kata personal “Allah” karena oleh sebagian besar mufasir dianggap sebagai ism ma’rifah dengan alif dan lam (kata tertentu), menurut kaidah kesusasteraan, kurang tepat dikaitkan dengan sebutan panggilan “ya.” Karena itulah, bisa dipastikan kalimat “Ya Allah” (Wahai Allah) tidak terdapat dalam al-Quran.2 Kata “Ya” diganti dengan huruf mim yang di-syaddah-kan dan di-fathah-kan pada bagian akhir kata Allah, maka jadilah “Allahumma.” Kata panggilan khas ini ditemukan satu kali dalam surah Ali Imran ayat 26, satu kali dalam surah al-Maidah ayat 114, satu kali dalam surah al-Anfal ayat 32, satu kali dalam surah Yunus ayat 10, dan satu kali dalam surah az-Zumar ayat 46.3

Namun kata “Allah” menurut sebagian ulama bukanlah bentuk ma’rifah dari kata ilah. Kata ini dianggap berasal dari bahasa Ibrani yang diadaptasi ke dalam bahasa Arab. Kata ini menurut mereka juga yang berarti Zat Tuhan Yang Mahaesa. Oleh karena itu, dalam Agama Ortodoks Suriah, bahkan sekte-sekte Kristen lainnya, diyakini sebagai kata atau nama personal Tuhan Bapa.4

Dalam kitab suci al-Quran, kata yang juga memberikan signifikansi pada Allah adalah “ilah” dan “rabb.” Kata “ilah” juga digunakan dalam syahadat, la ilaha illallah. Kata “ilah” adalah bentuk kata yang mengikuti wazan “fi’al” yang berarti “maf’ul.” Ilah berarti “ma’bud” (yang disembah), seperti “kitab” yang berarti “maktub” (yang ditulis). Dengan demikian, la ilaha illallah dapat diartikan “tiada yang layak disembah selain Allah.”5

Kata “Tuhan” dalam bahasa Indonesia, misalnya, hampir memiliki arti yang berdekatan dengan “tuan” yang berarti “majikan” atau “pemilik,” seperti tuan rumah yang berarti pemilik rumah,6 atau kata “Hyang” yang memiliki arti berdekatan dengan “eyang’ yang berarti kakek atau nenek. Hanya saja, yang perlu diperjelas, apakah “Tuhan” menunjuk “Sang Pencipta” (Khalik) ataukah menunjuk “Yang disembah” (al-ilah, al-ma’bud). Kata “tuhan” dalam bahasa Indonesia memiliki arti yang lebih dekat dengan “ar-rab” dalam bahasa Arab yang berarti “Maha Pengatur.” Seandainya “Tuhan” atau “Ilah” berarti “Pencipta” (Khalik), maka syahadat la ilaha illallah berarti “tiada pencipta selain Allah.” Tentu syahadat dengan arti seperti ini tidak mengecualikan seluruh kaum Quraisy penyembah berhala dan kaum musyrik lainnya, yang sejak semula meyakini Allah sebagai Pencipta. (QS. Lukman: 25)

Dalam al-Quran, kata “Allah” disebutkan sebanyak 930 kali7 sedangkan kata “ilah” (tanpa dhamir) disebutkan sebanyak 80 kali.8

Arti “ilah” dalam rangkaian syahadat (kalimah at-tahlil) bisa berarti “al-ma’bud” atau yang disembah, dan bisa pula berarti al-ma’bud bil haq.9 Apabila arti pertama dipilih, maka setiap sesuatu yang dalam kenyataan disembah selain Allah dapat dianggap sebagai ilah. Apabila arti kedua yang dipilih, maka berarti ilah hanya bisa disandang oleh Allah, sebab al-ma’budiyah (ke-tersembah-an) merupakan derivasi dari ar-rububiyah.

Kata “rabb” dalam al-Quran disebutkan sebanyak 84 kali. Satu dalam surah al-Fatihah, satu dalam surah al-Baqarah, satu dalam surah al-Maidah, empat dalam surah al-An’am, enam dalam surah al-A’raf, satu dalam surah at-Taubah, dua dalam surah Yunus, satu dalam surah ar-Ra’d, satu dalam surah al-Isra, satu dalam surah al-Kahfi, satu dalam surah Maryam, satu dalam surah Thaha, dua dalam surah al-Anbiya, tiga dalam surah al-Mukminun, lima belas dalam surah asy-Syu’ara, empat dalam surah an-Naml, satu dalam surah al-Qashash, satu dalam surah as-Sajdah, satu dalam surah Saba, satu dalam surah Yasin, enam dalam surah ash-Shaffat, satu dalam surah Shad, satu dalam surah az-Zumar, tiga dalam surah Ghafir, satu dalam surah Fushshilat, tiga dalam surah az-Zukhruf, dua dalam surah ad-Dukhan, tiga dalam surah al-Jatsyiyah, satu dalam surah adz-Dzariyat, satu dalam surah an-Najm, dua dalam surah ar-Rahman, satu dalam surah al-Waqi’ah, satu dalam surah al-Hasyr, satu dalam surah al-Haqqah, satu dalam surah al-Ma’arij, satu dalam surah al-Muzzammil, satu dalam surah an-Naba, satu dalam surah at-Takwir, satu dalam surah al-Muthaffifin, satu dalam surah al-Quraisy, satu dalam surah al-Falaq, dan satu dalam surah an-Nas.10

Selain berupa kata personal Allah, ilah, dan rabb, Tuhan juga merupakan entitas penghimpun semua nama-nama terbaik (Asmaul Husna). Kata Asmaul Husna disebutkan empat kali dalam al-Quran, satu dalam surah al-A’raf ayat 180, satu dalam surah al-Isra ayat 110, satu dalam surah Thaha ayat 8, dan satu dalam surah al-Hasyr ayat 24.11 Dengan demikian, nama dan sifat yang memberikan signifikansi kebaikan dan kesempurnaan maksimum adalah milik Allah. Karenanya, nama dan sifat manusia berasal dari Allah sebagai Pemilik Absolut nama-nama terbaik. Dalam sebuah hadis, Nabi saw memerintahkan kita untuk berakhlak dengan akhlak Allah. Dalam al-Quran terdapat sejumlah ayat yang menekankan tentang posesi atau kepemilikan Tuhan atas semua nama terbaik. (QS. al-Hadid [57]: 4; QS. al-A’raf [7]: 180; QS. Thaha [20]: 8; QS. al-Isra [17]: 110; dan QS. al-Hasyr [59]: 24)

الله لااله الاهو, له الاسماء الحسنى
.ولله الاسماء الحسنى فادعوه بها

Menurut sebagian mufasir mutakhir, tidak ada dalil qath’i (definitif) tentang ketentuan jumlah Asmaul Husna, meskipun yang populer dalam riwayat disebutkan berjumlah 99.12 Setiap nama (ism) dalam alam keberadaan adalah sebaik-baik nama (Ahsanul Asma). Semuanya adalah milik Allah Swt. Karena itulah, jumlah nama Allah tidaklah terbatas.13

Dengan nama-nama terbaik yang banyak dan mencakup spektrum dimensi dan nilai kesempurnaan maksimal itulah, hamba-hamba-Nya berpeluang untuk berkomunikasi dengan Allah. Seorang yang papa dan dirundung kemiskinan dapat memanggil-Nya dengan nama al-Karim, ar-Raziq, dan ar-Razzaq. Seseorang yang bergelimang dosa dapat memohon ampunan-Nya dengan memanggil-Nya “al-Ghaffar. Seseorang yang ingin mendapatkan petunjuk dapat menyeru-Nya dengan nama al-Hadi dan sebagainya.

Yang patut diketahui ialah bahwa kata asma juga dapat diartikan sebagai sifat-sifat, karena ism dalam Ilmu Sharf mencakup ismul fa’il dan ash-shifat al-musyabbahah. Menurut Allamah Thabathaba’i, Asmaul Husna adalah setiap kata yang menunjukkan arti predikatif seperti ilah, al-hayy, dan lainnya. Sedangkan kata “Allah,” adalah alam syakhshi (nama personal) atau alam adz-dzat, yang merupakan nama personal bagi Tuhan.14

Kata ism yang dikaitkan (diidhafahkan) dengan Allah dan Rabb, berjumlah 18 kali, yaitu empat dalam surah al-An’am, satu dalam surah al-Maidah, lima dalam surah al-Hajj, satu dalam surah ar-Rahman, dua dalam surah al-Waqi’ah, satu dalam surah al-Haqqah, satu dalam surah al-Muzzammil, satu dalam surah al-Insan, satu dalam surah Hud, dan satu dalam surah al-Naml. Jika Bismillâhirrahmânirrahîm dianggap sebagai pembuka dan bagian dari setiap surah, kecuali surah al-Bara’ah, maka jumlah keseluruhan ism yang kaitkan pada Allah dan Rabb berjumlah 131.15

Ismul A’zham (nama kebesaran), menurut opini masyarakat Arab, adalah ismul lafzhi yang merupakan salah satu dari asma Allah, yang bila diseru dalam doa, maka dikabulkan. Namun, anehnya, ia tidak tergolong dalam Asmaul Husna yang populer, dan tidak pula dianggap sebagai bagian dari lafzhul jalalah. Menurut mereka, Ismul A’zham terdiri atas huruf-huruf tak dikenal (huruf majhulah) dengan komposisi yang tak dikenal pula. Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa kata Allah dalam basmalah itulah yang dimaksud dengan Ismul A’zham.16

Asma Allah atau Asmaul Husna kadangkala dikaitkan dengan sifat-sifat Allah (shifatullah). Menurut Sayid Quthub, firman Allah itu mengandung makna bahwa manusia dibenarkan memanggil atau menyeru dan menamakan Tuhan mereka sekehendak mereka sesuai dengan nama-nama-Nya yang paling baik (Asmaul Husna). Firman itu juga merupakan sanggahan terhadap kaum Jahiliyah yang mengingkari nama “ar-Rahman,” selain nama “Allah.”17

Berkenaan dengan alasan turunnya firman itu, tafsir-tafsir klasik menuturkan adanya hadis dari Ibnu Abbas, bahwa di suatu malam Nabi saw beribadah, dan dalam bersujud beliau mengucapkan, “Ya Allah, Ya Rahman.” Ketika Abu Jahal, tokoh musyrik Mekah yang sangat memusuhi kaum beriman, mendengar tentang ucapan Nabi saw dalam sujudnya itu, ia berkata, “Dia (Muhammad) melarang kita menyembah dua tuhan, dan sekarang ia sendiri menyembah Tuhan yang lain lagi.” Ada juga penuturan bahwa ayat itu turun kepada Nabi saw karena kaum Ahlulkitab pernah mengatakan kepada beliau, ‘Engkau (Muhammad) jarang menyebut nama ar-Rahman, padahal Allah banyak menggunakan nama itu dalam Taurat.’”18

Maka turunnya ayat itu tidak lain ialah untuk menegaskan bahwa kedua nama itu sama saja, dan keduanya menunjuk kepada Hakikat, Zat atau Wujud yang satu dan sama. Zamakhsyari, Baidhawi dan Nasafi menegaskan bahwa kata ganti nama “Dia” dalam kalimat “maka bagi Dia adalah nama-nama yang terbaik” dalam ayat itu mengacu tidak kepada nama “Allah” atau “ar-Rahman,” melainkan kepada sesuatu yang dinamai, yaitu Zat (Esensi) Wujud Yang Mahamutlak itu sendiri. Sebab, suatu nama tidaklah diberikan kepada nama yang lain, tetapi kepada suatu zat atau esensi. Jadi, Zat Yang Mahaesa itulah yang bernama “Allah” dan atau “ar-Rahman” serta nama-nama terbaik lainnya, bukannya “Allah” bernama “ar-Rahman” atau “ar-Rahim.”

Jadi yang bersifat Mahaesa itu bukanlah nama-Nya, melainkan Zat atau Esensi-Nya, sebab Dia mempunyai banyak nama. Karena itu, Baidhawi menegaskan bahwa paham Tauhid bukanlah ditujukan kepada nama, melainkan kepada esensi. Maka Tauhid yang benar ialah “Tawhid adz-Dzat” bukan “Tawhid al-Ism” (Tauhid Esensi, bukan Tauhid Nama).19

Pandangan ketuhanan yang sangat mendasar ini diterangkan dengan jelas sekali oleh Imam Ja’far Shadiq as, guru dari para imam dan tokoh keagamaan besar dalam Sejarah Islam, baik untuk kalangan Ahlusunah maupun Syiah. Dalam sebuah penuturan, ia menjelaskan nama “Allah” dan bagaimana menyembah-Nya secara benar sebagai jawaban atas pertanyaan Hisyam, “Allah” (kadang-kadang dieja, “Al-lah”) berasal “ilah” dan “ilah” mengandung makna “ma’luh,” (yang disembah), dan nama (ism) tidaklah sama dengan yang dinamai (al-musamma). Maka barangsiapa menyembah nama tanpa makna, ia sungguh telah kafir dan tidak menyembah apa-apa. Barangsiapa menyembah nama dan makna (sekaligus), maka ia sungguh telah musyrik dan menyembah dua hal. Dan barangsiapa menyembah makna tanpa nama maka itulah Tauhid. Engkau mengerti, wahai Hisyam?” Hisyam mengatakan lagi, “Tambahilah aku ilmu.” Imam Ja’far Shadiq as menyambung, “Bagi Allah Yang Mahamulia dan Mahaagung, ada sembilan puluh sembilan nama. Kalau seandainya nama itu sama dengan yang dinamai, maka setiap nama itu adalah suatu tuhan. Tetapi Allah Yang Mahamulia dan Mahaagung adalah suatu Makna (Esensi) yang dirujuk oleh nama-nama itu, sedangkan nama-nama itu sendiri seluruhnya tidaklah sama dengan Dia…”20

Kalau kita harus menyembah Makna atau Esensi, dan bukan menyembah Nama seperti yang diperingatkan dengan keras sebagai suatu bentuk kemusyrikan oleh Imam Ja’far Shadiq as itu, berarti kita harus menunjukkan penyembahan kita kepada Dia yang menurut al-Quran memang tidak tergambarkan, dan tidak sebanding dengan apa pun. Berkenaan dengan ini, Imam Ali bin Abi Thalib ra mewariskan penjelasan yang amat berharga kepada kita, dia mengatakan, “Allah” artinya “Yang Disembah” (al-Ma’bud), yang mengenai Dia itu makhluk merasa tercekam (ya’lahu) dan dicekam (yu’lahu) oleh-Nya. Allah adalah Wujud dan tertutup dari kemampuan penglihatan, dan yang terdinding dari dugaan dan benih pikiran.21

Dan Imam Muhammad Baqir ra menjelaskan, “Allah” maknanya “Yang Disembah” yang agar makhluk (aliha, tidak mampu atau bingung) mengetahui Esensi-Nya (Mahiyah) dan memahami Kualitas-Nya (Kaifiyah). Orang Arab mengatakan, ‘Seseorang tercekam (aliha) jika ia merasa bingung (tahayyara) atas sesuatu yang tidak dapat dipahaminya, dan orang itu terpukau (walaha) jika ia merasa takut (fazi’a) kepada sesuatu yang ia takuti atau khawatirkan.’”[]

Catatan Kaki:

1. M. Fuad Abdul-Baqi, al-Mu’jam al-Mufahras li Alfazh al-Quran, hal. 62-63, Muassasah al-A’lami li al-Mathbu’at, 1991.

2. Dalam kaidah gramatika Arab, tidak dibenarkan seseorang memanggil dengan Ya al-‘Alim, misalnya, dengan tidak membuang alif dan lam.

3. Op.Cit., Muhammad Fuad Abdul-Baqi, al-Mu’jam al-Mufahras, hal.96, Istanbul.

4. Summa Theologica, Ia, q. 2, a.l. Louis Leahy SJ, Filsafat Ketuhanan Kontemporer, hal. 141, Pustaka Filsafat.

5. M. Taqi Misbah Yazdi, Ma’arif al-Quran, vol.1, hal.26, Jami’ah Mudarrisin, Qom, 1987.

6. Kamus Besar Bahasa Indonesia, hal. 963, Balai Pustaka.

7. Yaitu sebanyak 107 kali dalam QS. al-Baqarah, 116 kali dalam QS. Ali Imran, 32 kali dalam QS. an-Nisa, 38 kali dalam QS. al-Maidah, 41 kali dalam QS. al-An’am, 6 kali dalam QS. al-A’raf, 35 kali dalam QS. al-Anfal, 67 kali dalan QS. at-Taubah, 20 kali dalam QS. Yunus, 5 kali dalam QS. Hud, 28 kali dalam QS. Yusuf, 1 kali dalam QS. ar-Ra’d, 10 kali dalam QS. Ibrahim, 29 kali dalam QS. an-Nahl, 3 kali dalam QS. al-Isra, 8 kali dalam QS. al-Kahfi, 2 kali dalam QS. Maryam, 5 kali dalam QS. Thaha, 1 kali dalam QS. al-Anbiya, 15 kali dalam QS. al-Hajj, 4 kali dalam QS. al-Mukminun, 37 kali dalam QS. an-Nur, 4 kali dalam QS. ar-Furqan, 7 kali dalam QS. an-Naml, 9 kali dalam QS. al-Qashash, 13 kali dalam QS. al-Ankabut, 9 kali dalam QS. ar-Rum, 3 kali dalam QS. Lukman, 1 kali dalam QS. as-Sajdah, 34 kali dalam QS. al-Ahzab, 2 kali dalam QS. as-Saba, 7 kali dalam QS. Fathir, 2 kali dalam QS. Yasin, 4 kali dalam QS. ash-Shaffat, 1 kali dalam QS. Shad, 24 kali dalam QS. az-Zumar, 18 kali dalam QS. Ghafir, 2 kali dalam QS. Fushshilat, 19 kali dalam QS. Syura, 1 kali dalam QS. az-Zukhruf, 1 kali dalam QS. ad-Dukhan, 6 kali dalam QS. al-Jastiyaah, 1 kali dalam QS. al-Ahqaf, 15 kali dalam QS. Muhammad, 21 kali dalam QS. al-Fath, 7 kali dalam QS. al-Hujurat, 1 kali dalam QS. at-Thur, 2 kali dalam QS. an-Najm, 8 kali dalam QS. al-Hadid, 18 kali dalam QS. al-Mujadalah, 9 kali dalam QS. al-Hasyr, 9 kali dalam QS. al-Mumtahanah, 1 kali dalam QS. ash-Shaf, 4 kali dalam QS. al-Jumu’ah, 6 kali dalam QS. al-Munafiqun, 9 kali dalam QS. at-Taghabun, 8 kali dalam QS. ath-Thalaq, 8 kali dalam QS. at-Tahrim, 2 kali dalam QS. al-Mulk, 3 kali dalam QS. Nuh, 1 kali dalam QS. al-Jinn, 1 kali dalam QS. al-Muzzammil, 3 kali dalam QS. al-Muddatstsir, 2 kali dalam QS. al-Insan, 1 kali dalam QS. an-Nazi’at, 1 kali dalam QS. at-Takwir, 1 kali dalam QS. al-Insyiqaq, 2 kali dalam QS. al-Buruj, 1 kali dalam QS. al-Ghasyiyah, 1 kali dalam QS. at-Tin, 1 kali dalam QS. al-Bayyinah, dan 1 kali dalam QS. al-Ikhlas.

8. Empat kali dalam QS. al-Baqarah, lima kali dalam QS. Ali Imran, dua kali dalam QS. an-Nisa, dua kali dalam QS. al-Maidah, empat kali dalam QS. al-An’am, lima kali dalam QS. al-A’raf, dua kali dalam QS. at-Taubah, satu kali dalam QS. Yunus, empat kali dalam QS. Hud, satu kali dalam QS. ar-Ra’d, satu kali dalam QS. Ibrahim, tiga kali dalam QS. al-Nahl, satu kali dalam QS. al-Kahfi, satu kali dalam QS. Thaha, empat kali dalam QS. al-Anbiya, satu kali dalam QS. al-Hajj, lima kali dalam QS. al-Mukminun, enam kali dalam al-Nahl, enam kali dalam QS. al-Qashash, satu kali dalam QS. Fathir, satu kali dalam QS. ash-Shaffat, satu kali dalam QS. Shad, satu kali dalam QS. az-Zumar, empat kali dalam QS. Ghafir, satu kali dalam QS. Fushshilat, dua kali dalam QS. az-Zukhruf, satu kali dalam QS. ad-Dukhan, satu kali dalam QS. Muhammad, satu kali dalam QS. ath-Thur, dua kali dalam QS. al-Hasyr, satu kali dalam QS. at-Taghabun, satu kali dalam QS. al-Muzzamil, dan satu kali dalam QS. an-Nas.

9. M. Fuad Abdul-Baqi, Mu’jam al-Mufahras, vol.14, hal.122, Muassasah al-A’lami li al-Mathbu’at, 1991.

10. Ibid., hal.362-365.

11. Ibid., hal.459.

12.Lihat, ad-Durrul Manstur; al-Mustadrak; Sunan Thabarani; dan Sunan Baihaqi.

13. Berdasarkan pendapat ini, jumlah Asmaul Husna yang dapat ditemukan dalam al-Quran sebanyak 127, yaitu: al-Ilah, al-Ahad, al-Awwal, al-Akhir, al-A’la, al-Akram, al-A’lam, ar-Rahman ar-Rahimin, Ahkam al-Hakimin, Ahsan al-Khaliqin, Ahl at-Taqwa, Ahl al-Maghfirah, at-Tawwab, al-Jabbar, al-Jami’, al-Hakim, al-Halim, al-Hayy, al-Haq, al-Hamîd, al-Hasîb, al-Hafîzh, al-Khafi, al-Khabir, al-Khaliq, al-Khallaq, al-Khair, Khair al-Hakimin, Khair al-Makirin, Khair ar-Raziqin, Khair al-Fashilin, Khair al-Fatihin, Khair al-Ghafirin, Khair al-Waritsin, Kahir ar-Rahimin, Khair al-Munzilin, Dzu al-‘Arsy, Dzu ath-Thaul, Dzu al-Intiqam, Dzu al-Fadhl al-Azhim, Dzu ar-Rahmah, Dzu al-Quwwah, Dzu al-Jalal wa al-Ikram, Dzu al-Ma’arij, ar-Rahman, ar-Ra’uf, ar-Rabb, ar-Rafi’ ad-Darajat, ar-Razzaq, ar-Raqib, as-Sami’, as-Salam, as-Sari’ al-Hisab, Sari’ al-‘Iqab, asy-Syahid, asy-Syakir, asy-Syakur, Syadid al-‘Iqab, Syadid al-Mihal, ash-Shamad, azh-Zhahir, al-‘Alim, al-Aziz, al-‘Afwu, al-‘Aliy, al-‘Azhim, ‘Allam al-Ghuyub, ‘Alim al-Ghayb wa asy-Syahadah, al-Ghaniy, al-Ghafur, al-Ghalib, Ghafir adz-Dzam, al-Ghaffar, Faliq al-Ishbah, Faliq al-Habb wa an-Nawa, al-Fathir, al-Fattah, al-Qawiy, al-Quddus, al-Qayyum, al-Qahir, al-Qahhar, al-Qarib, al-Qâdir, al-Qadîr, Qabil at-Tawb, al-Qa’im ‘ala Kulli Nafs bima Kasabat, al-Kabir, al-Karim, al-Kafi, al-Lathif, al-Malik, al-Mu’min, al-Muhaimin, al-Mutakabbir, al-Mushawwir, al-Majîd, al-Mujib, al-Mubin, al-Mawla, al-Muhith, al-Muqit, al-Muta’al, al-Muhyi, al-Mutabayyin, al-Mutaqaddir, al-Musta’an, al-Mubdiy’, Malik al-Mulk, al-Nashîr, an-Nur, al-Wahhab, al-Wahid, al-Walîy, al-Wâliy, al-Wasiy’, al-Wakil, al-Wadud, al-Hadiy. Lihat, al-Mu’jam al-mufahras, vol.8, hal.361-363.

14. Ibid., hal.124.

15. Fuad Abdul-Baqi, al-Mu’jam al-Mufahras, hal.459, Istanbul.

16. M.H. Thabathaba’i, al-Mizan fi Tafsir al-Quran, vol.8, hal.359, Muassasah al-Alami li al-Mathbu’at, Beirut, 1991.

17. QS. al-Isra [17]: 110.

18. Sayid Quthub, Fi Zhilal al-Quran, jil.5, juz.15, hal.73, Dar asy-Syuruq, Kairo, 1987.

19. Untuk pembahasan ini, lihat tafsir ayat bersangkutan dalam kitab-kitab tafsir klasik: Baidhawi, Anwar at-Tanzil wa Asrar at-Ta’wil; Zamaksyari, al-Kasysyaf; Bagdadi, Tafsir al-Khazin; dan Nasafi, Madarik at-Tanzil wa Haqaiq at-Ta’wil, dan lain-lain.

20. Yaitu keterangan dari Ali ibn Abi Thalib ra, menurut sebuah penuturan; [tulisan Arab].

21. Ibid.

Jumat, 17 Oktober 2008

teman koe......!!!!!!

http://musadiqmarhaban.wordpress.com/
http://www.khamenei.ir/
http://www.ahmadinejad.ir/
http://jafarsufigo.blogspot.com/
http://abi-kholid.blogspot.com/
http://ajibondan.wordpress.com/
http://muhsinlabib.wordpress.com/
http://musakazhim.wordpress.com/
http://mesiahkohen.wordpress.com/
http://amorinka.wordpress.com/
http://ressay.wordpress.com/
http://bensohib.wordpress.com/
http://maulanusantara.wordpress.com/
http://damartriadi.wordpress.com/
http://salehlapadi.blogspot.com/
http://taufiqhaddad.blogspot.com/
http://obesitas.wordpress.com/
http://www.mustangfm.com/
http://husainku.wordpress.com/
http://anditoaja.wordpress.com/
http://mozamal.wordpress.com/
http://chaosregion.wordpress.com/
http://wannabesunni.wordpress.com/
http://senyumsehat.wordpress.com/
http://abuaqilah.wordpress.com/
http://ahmadsamantho.wordpress.com/
http://secondprince.wordpress.com/
http://iwans.wordpress.com/
http://bumgembul.blogspot.com/....anak-anak....
http://www.centrajava.persianblog.ir/
http://cintarasulullah.wordpress.com/
http://vichaksana.blogspot.com/
http://ibnutaymiah.wordpress.com/
http://esharyudhi.wordpress.com/
http://asruldinazis.wordpress.com/
http://irfanpermana.wordpress.com/
http://www.islamalternatif.net/iph/index.php
http://islamfeminis.wordpress.com/
http://islamsyiah.wordpress.com/
http://jakfari.wordpress.com/
http://kajianislam.wordpress.com/
http://markaskio.wordpress.com/
http://musadiqmarhaban.wordpress.com/
http://mbojo.wordpress.com/
http://luthv.wordpress.com/
http://noertika.wordpress.com/
http://purkonhidayat.multiply.com/
http://haidarrein.wordpress.com/
http://rosenqueencompany.wordpress.com/
http://salafyindonesia.wordpress.com/
http://infosyiah.wordpress.com/
http://shahihbukhari.wordpress.com/
http://wahabisme.wordpress.com/
http://wildavy.wordpress.com/
http://isyraq.wordpress.com/
http://indra15.multiply.com/reviews/item/1
http://celotehjiwa.wordpress.com/
http://eraalquran.wordpress.com/
http://luthfis.wordpress.com/
http://erander.wordpress.com/
http://algembira.blog.com/
http://shalatdoa.blogspot.com/
http://kamal87.wordpress.com/
http://greenpressnetwork.wordpress.com/
http://aboubakr.wordpress.com/
http://savikovic.multiply.com/